Tugas IBD 3 Cerpen "KETIKA CINTA HARUS MEMILIH"

KETIKA CINTA HARUS MEMILIH

Ran aku sayang kamu, kata itu yang masih terngiang di benaku. Bukan

hanya satu orang yang mengatakan kata indah itu tapi dua pemuda yang

mengatakannya. Dengan mata yang berbinar dan penuh dengan

ketulusan. Aku benar-benar bingung.  Aku tak bisa memilih di antara

keduanya.  Satria, dia selalu ada untuk aku semenjak aku duduk

dibangku SMA sampai sekarang. Sedangkan doni, seseorang yang

memang ku kagumi sejak mengenalnya di universitasku. Dia sangat

sempurna. Bingung, bingung, dan bingung. Itulah yang kin aku rasakan.

Dua minggu sudah kejadian itu berlalu, namun aku belum juga memberi

kepastian pada mereka. Di satu sisi aku memang sangat mengagumi dan

menyayangi Doni, atau bahkan aku telah benar-benar mencintainya. Tapi

di sisi lain, aku tak mampu menyakiti seorang Satria, sahabat yang selalu

ada untukku selama ini dan selalu ada di sampingku. Dialah yang

mungkin sangat mengerti seperti apa diriku ini yang sebenarnya. Dan

tanpa ku sadari, ada perasaan lain di hatiku saat menatap kedua bola

matanya. Oh Tuhan.. bagaimana ini, aku mencintai dua orang yang

mencintaiku, siapa yang harus ku pilih.

“Hay… ngelamun aja..” Seorang perempuan mengejutkanku dengan suara

Aku terdiam sejenak. “Iiih, Kakak apaan sih, ngagetin aja. Kalau tiba-tiba

Rani kena serangan jantung gimana?!” ucapku kesal pada perempuan  itu

yang notabane-nya adalah Kakak keduaku, Putri Yunia .

“Sorry deh, abis Kakak perhatiin dari tadi kamu ngelamun mulu,

ngelamunin apa sih ade Kakak ini?” sahut Kak Puput.

“Jangen cemberut ihh, hilang loh cantiknya.” godanya sambil menoel

daguku. Aku hanya mendengus kesal. Kak Puput menatapku penuh

keteduhan.

“Ya udah, Kakak minta maaf. Sekarang, kamu cerita dong sama Kakak

kalau kamu punya masalah.” ucap Kak Puput lembut. Ku tatap mata

Kakakku dalam-dalam. Aku menghela napas berat.

“Rani bingung Kak.” ucapku lirih dan tertunduk.

“Bingung? Bingung kenapa?” tanya Kak Puput sembari mengusap

Ku tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Rani 

harus gimana Kak, kalau ada dua cowok yang nembak Rani?” tanyaku.

Kak Puput tersenyum simpul. “Ya… tinggal pilih yang kamu suka,

gampang kan.” jawabnya.

“Itu dia masalahnya Kak, Rani nggak bisa.  Rani suka dua-duanya. Rani

cinta sama mereka..” Aku mengalihkan pandanganku.

Kak Puput  mengerutkan keningnya. “Emang mereka berdua siapa?”

“Satria dan Doni.” jawabku singkat.

“Satria sahabat kamu itu dan.. Doni? Doni itu anak mahasiswa semester 3

itu kan yang tinggi,ganteng&pinter itu. Wah kamu hebat ya bisa di taksir

sama Doni sahut ka puput.

Ah kakak bisa aja si, itu dia yang aku bingung untuk menjawabnya

“Wow, hebat deh Dek kalau kamu jadi pacarnya.” Kak Puput 

berpendapat.

“Iya sih Kak… tapi Satria? Satria itu kan sahabat Rani. Dia yang selalu

ada dan jagain Rani  selain Kakak. Rani  nggak tega kalau harus nyakitin

dia.” ucapku.

“Iya juga yah..” seru Kak Puput setuju.

“Gimana dong Kak?” tanyaku meminta solusi. Kak Puput  terlihat berpikir

sejenak. Dia menghembuskan napas perlahan.

“Hmm… ikuti kata hati kecil , sayang.” jawab Kak Puput yang nampaknya

ikut bingung.

Lagi-lagi aku menghela napas.

“I’m very confused, brother… apa Rani ngga usah milih dua-duanya?”

tanyaku lagi.

“kalau menurut kamu itu yang terbaik, ya megapa tidak, kalau mereka

bener-bener cinta sama kamu, Kakak yakin mereka bakal ngerti.” jawab

Kak Puput  lalu mengelus rambutku.

“Mmm, oiya Dek, Kakak udah selesai ngurusin beasiswa Kakak ke

Singapura, dan 3 hari lagi Kakak berangkat. Deg. Jantugku tiba-tiba

berdebar kencang.  Ku lepas sandaranku dari bahu Kak Puput. Ku tatap

mata Kakakku tajam.

“Secepet ini Kak? Kenapa Kakak baru bilang ke Rani kalau Kakak

berangkat minggu-minggu ini?” Mataku mulai berkaca-kaca. Dengan

siapa aku menjalani hidupku di sini tanpa Kak Puput?

“Maaafin Kakak Dek, tapi ini udah kewajiban Kakak. Kakak nggak mau

sia-siain beasiswa yang udah Kakak dapet ini.” sahut Kak Puput.

“Tapi Rani nggak mau sendiri Kak. Rani butuh kamu ka… siapa yang mau

jagain Rani kalau Kakak nggak ada… siapa yang mau jadi tempat curhat

Rani nanti…” ujarku.

Tak terasa bulir-bulir bening mulai menetes dari pelupuk mataku.

“Loh, kok jadi nangis sih… kamu nggak akan sendiri di sini, masih ada

saudara-saudara kita, dan sahabat-sahabat kamu.”

“Tapi Rani butuh Kakak”.

“Kita masih bisa komunikasi Dek.. jangan kayak anak kecil ah, kamu kan

udah dewasa apa lagi sekarang udah jadi mahasiswa.” sahut Kak Puput.

“Tapi Kak, apa Kakak nggak mikirin perasaan Rani? Rani bakal kesepian

Kak. Selama ini Rani butuh kasih sayang dari semua keluarga Rani. Tapi

apa Kak? Mama Papa lebih mentingin bisnis mereka.

“Oke, kalau kamu bener-bener nggak mau Kakak tinggal. Kamu ikut

Kakak. Biar nanti Kakak bilang sama Mama Papa, dan urusan kuliah kamu

nyusul aja. Gimana? Agree?” Kak Puput memberi solusi. Aku berpikir

sejenak. Ke Singapura? Apa Satria dan Doni tak akan menganggapku

sebagai pengecut jika aku pergi?

“Gimana Dek? Are you agree with me?” tanya Kak Puput lagi.

“Yaahhh.. i’m agree.” ucapku lirih, masih dalam dekapan Kak Puput.

Hari telah berganti aku pun berangkat kuliah dan sekalian untuk

berpamitan untuk pindah kuliah ke singapura. Temen-temen aku merasa

terkejut dan kaget ketika aku mengatakan mau pindah ke singapura.

“Apa?! Ke Singapura? Lusa? Gue nggak salah denger Ran? Tapi kenapa?”

pertanyaan bertubi-tubi itu terlontar dari mulutnya.

“gua nggak salah denger Ran, keputusan gue ini udah bulet. Gue nggak

bisa hidup di sini tanpa Kakak gue.” jawabku serius. Sejenak Intan,

sahabatku sejak SMA itu terbengong-bengong.

“Tapi kan masih ada gue, temen-temen kita yang lain, dan sodara-sodara

lo Ran. Lo juga bisa kan contact sama Kak Puput  tiap hari.” ujarnya.

“Iya Ran, gue tahu, tapi kalau nggak ada Kak Puput di deket gue, tetep

aja beda rasanya. lo nggak tahu kan rasanya hidup tanpa keluarga di

deket kita, rasanya nggak enak Tan, dan bagi gue, udah cukup orangtua

gue aja yang jauh dari gue, jangan Kak Puput.” jelasku panjang lebar.

“Tapi lo janji kan bakal sering contact gue?” tanya Intan menolehkan

pandangannya ke arahku.

Aku pun menoleh. “Iya, gue janji.” Ku tunjukkan jari kelingkingku. Kiran

pun mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku.

“Oh iya terus gimana Satria dan Doni?” tanya Intan seraya melepaskan

Aku menarik napas panjang. Ku alihkan pandanganku ke depan kembali.

“Gue nggak akan milih siapa-siapa Tan, terlalu sulit.” ucapku dengann

tatapan kosong.

“lo udah ngomong sama mereka?” Kiran masih saja menatapku.

“Belum, rencananya besok gue ngomong ke mereka.” jawabku lesu. Kiran

hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

“Mmm, daripada ngegalau kayak gini, mending ke mall yuk… jalan-jalan,

yaa, kan bentar lagi kita nggak bisa hang out bareng.” ucapnya

kemudian. Aku menoleh ke arahnya, ku kembangkan seutas senyum.

“Ayo lah.” jawabku sambil menarik tangan Intan.

(Setiba di rumah)

“Huaahhh.. capenya..” Aku merebahkan tubuhku di spring bad. Lelah

sekali rasanya seharian mengelilingi mall bersama Intan. Mataku menatap

langit langit kamarku. Ku bangkitkan lagi tubuhku, ku edarkan pandangan

ke seluruh sudut kamarku.

“Gue pasti kangen banget sama kamar ini nanti.” gumamku.

Aku mengambil ponselku yang berada di atas meja, aku menulis sms

untuk Satria dan Doni. Aku mengajak mereka untuk bertemu aku besok

sore di cafe Cipete .

Tak lama kemudian mereka berdua menjawab sms aku dan ahirnya

mereka berdua bisa untuk aku ajak bertemu. Pagi itu sudah menunjukan

pukul 08.00. Aku dan Kak Puput berkemas untuk menyiapakan

Kebutuhan yang harus dibawa ke Singapura. Tak terasa hari sudah

menunjukan siang. “Kak aku udahan dulu ya beres-beresnya soalnya mau

bertemu dengan Satria dan Doni”. Oke good luck yah, jawab Kak Puput.

Ahrinya aku bersiap dan bergegas pergi ke cafe Cipete. Aku pergi dengan

mengunakan Taxi 20 menit di perjalanan ahirnya samapi juga di Cafe itu.

Setelah menunggu 15menit ahirnya Doni pun datang, Doni terlihat

ganteng dengan memakai pakaian kemeja berwarna biru.

 “Don, aku di sini.” ucapku melambaikan tangan pada pemuda itu. Dia

Doni. Doni segera menoleh ke arahku, diiringi senyuman, dia melangkah

menghampiriku.

“Hai, udah lama?” tanyanya setelah bertatap muka denganku.

“Belum kok, duduk gih Don.” jawabku. Dia pun duduk di kursi sebelah

kananku. Suasana hening sejenak. Doni menatapku teduh. Mataku

beradu dengan matanya sejenak, kamudian ku tundukkan kepalaku.

“Ah, please Don, jangan natap gue kayak gitu.” batinku.

“Ran, kenapa?” tanya Doni yang mungkin heran melihatku yang tiba tiba

saja menunduk. Aku terkesiap.

“Engg… nggak kok Don, nggak apa-apa.” jawabku gugup.

“Hmm… oh iya, katanya ada yang mau diomongin?” tanyanya lagi.

“Emm, bentar yah donf, kita nunggu satu orang lagi.” jawabku. Doni

mengernyitkan keningnya.

“Kita.. bertiga?” Dia kelihatan bingung. Aku hanya menganggukan

Tiga menit berlalu. “Hay Ran sorry gue..” seorang pemuda yang

menghampiriku menghentikan ucapannya ketika mendapati aku bersama

“Mmm, nggak apa-apa Sat, duduk gih.” tanggapku. Ya, dia Satria. Satria

pun duduk di kursi sebelah kiriku sembari melepas jaketnya yang sedikit

basah. Dia berpandangan sekilas dengan Doni, lalu mengalihkan

pandangannya ke arahku.

“Mmm, Ran, bisa lo jelasin?” tanyanya.

“Kalian nggak pesen minum dulu?” aku berbasa-basi.

“Nggak usah Ran, ntar aja.” jawab keduanya bersamaan. Mereka kembali

berpandangan sejenak.

Ku hela napas perlahan. Suasana hening sejenak. Dua pasang mata itu

masih lekat menatapku yang tertunduk. Ku dongakkan kepalaku.

“Jadi gini Don, Sat… hari ini aku mau kasih jawaban sama kalian. Kenapa

bareng? yaa.. karena kalian kasih pertanyaan yang sama di hari yang

sama juga.” ku hentikan ucapanku sebentar. Mataku menatap Doni dan

Satria bergantian.

“Jujur, aku nggak bisa nyakitin kalian, tapi.. kalian bener-bener bikin aku

bingung. Aku… aku.. aku… aku cinta sama kalian berdua, aku sayang, dan

itu buat aku nggak bisa nentuin siapa yang harus aku pilih. Jadi… maaf,

aku nggak bisa sama salah satu dari kalian berdua. Lebih baik… kita jadi

sahabat aja. Tuhan yang bakal nentuin jodoh kita nanti.” jelasku panjang

Kini semua beban hati sudah tak terasa lagi. Ku lihat dua pemuda tampan

itu tercenung. Namun sejurus kemudian, terlihat sebersit senyum dari

bibir tipis Doni.

“Nggak apa-apa Ran, aku ikhlas kok, mungkin ini emang yang terbaik

buat kita bertiga.” ucapnya membuatku lega.

“Iya Ran, gue juga rela kok. Bener kata Doni, ini emang yang terbaik.”

sambung Satria diiringi senyum. Lega. Aku sudah mengira mereka akan

mengerti keputusanku.

“Makasih ya, kalian udah mau ngertiin aku. Maaf juga udah bikin kalian

nunggu..” Ku genggam tangan keduanya. Tangan kananku

menggenggam tangan kiri Doni, dan tangan kiriku menggenggam tangan

“Iya Ran, sama-sama. Kita nggak apa-apa kok, asal lo bahagia… ya kan

Don?” Bisma mengalihkan pandangannya pada Doni, meminta

persetujuan.

“Iya Sat, bener. Kita bahagia, asal kamu bahagia Ran, dan kalau

keputusan ini adalah jalan buat kebahagiaan kamu, kita terima kok.” Doni

tersenyum manis. Ah, aku tak menyangka mereka setulus itu. Ku

kembangkan senyum di bibirku, dan perlahan, ku lepaskan genggaman

Suasana hening sejenak. Ah!! hampir saja aku lupa. Aku harus

berpamitan pada mereka.

“Mmm… Don, Sat, selain itu, aku juga mau pamit sama kalian berdua.

“Pamit?” tanya mereka bersamaan untuk kedua kalinya. Aku menatap

mereka bergantian.

“Ya, besok, aku mau ikut Kak Puput ke Singapura, dan kita menetap di

sana sampai kuliahku selesai.” jelasku.

Mereka tertegun sejenak. Tampak jelas kekagetan di raut wajah mereka.

“Ke Singapur? Besok? Kok mendadak.” tanya Doni.

“Yaa, besok. Jadwal Kak Puput nggak bisa diundur lagi..”

“Tapi kenapa Ran? Kenapa harus ikut? lo masih punya kita di sini, masih

ada sodara-sodara lo juga, toh kalau Kak Puput di Singapura, itu bukan

berarti lo kehilangan dia kan.” Satria angkat bicara.

“Iya Sat, Tapi aku nggak mau ditinggal Kak Puput, cukup orangtua aku

aja yang ninggalin aku. Nggak boleh Kak Puput. Cuma dia yang bisa

ngertiin aku sepenuhnya.

“Hmm, kalau kalian sempet, besok aku tunggu di bandara. Aku berangkat

jam 9. Sekarang aku harus pulang, banyak yang belum disiapin buat

besok.” Aku bangkit dari tempat dudukku. Ku pandangi mereka yang

masih tertunduk.

“Aku sayang kalian.” ucapku kemudian meninggalkan mereka yang masih

(Keesokan Harinya)

“Ran, kamu beneran mau pergi?” Mata Intan pun berkaca-kaca.

“Iya Ran, aku pasti sering calling lo kok..” Ku genggam tangannya erat.

“Aku pasti bakal kangen banget sama kamu Ran..” Kini bulir-bulir bening

mengalir deras di pipinya. Dia memelukku erat. Ku balas pelukannya

dengan hangat.

“Aku juga tan, udah donk jangan nangis lagi.”

“Hmm, Dek, udah ada pemberitahuan pesawat kita tuh.” ucap Kak Puput

yang sedari tadi hanya memandangi aku dan Intan. Ya, kini aku berada di

Bandara. Aku pun melepaskan pelukanku dari Intan. Jaga diri kamu baik-

baik ya tan aku pasti bakal balik ko buat kamu. “iya Ran aku percaya itu”

.jawab Intan

oh iya, Aku rasa Doni sama Satria nggak dateng deh, salam buat mereka

yah..” Intan  hanya mengangguk pelan. Ku lengkungkan bibirku

membentuk seutas senyum dan segera berbalik dan melangkah menuju

pesawat bersama Kak Puput.

“Ran! Tunggu..” Ku dengar seruan dua suara yang tak asing lagi di

telingaku. Ku hentikan langkahku. Ku balikkan badanku segera. Kak

Puput mengikutiku. Benar saja dugaanku, mereka datang. Doni dan

Satria. Bersamaan. Mereka berlari mengejarku.

“Doni.. Satria…” ucapku setelah berhadapan dengan mereka berdua.

“Ran, apa nggak ada jalan lain selain ini?” tanya Doni serius, dengan

napas yang sedikit tersengal.

“Iya Ran, kita pengen lo tetep di sini.” tambah Satria.

Ku sunggingkan senyum di bibirku dan menggeleng pelan. “Keputusanku

udah bulet Don, Sat… mmm, aku janji bakal sering calling kalian kok. Dan

suatu saat, aku pasti balik kok..”

“Tapi Ran…” ucap mereka berbarengan.

“Sepuluh  menit lagi Dek.” Kak Puput mengingatkan.

“Iya Kak.” sahutku singkat. Ku pandang mata indah Doni dan Satria 

bergantian. Ku peluk tubuh kurus  Satria. Dia membalas pelukanku

dengan erat.

“Sat kamu temen aku, makasih selama ini kamu selalu ada buat aku,

nemenin aku , dan jaga aku. kamu adalah orang yang paling ceria yang

aku kenal. Dan aku mau, kamu tetep kayak gitu. Aku nggak mau lihat

seorang Satria  sedih, apalagi karena aku . aku sayang kamu , Sat.”

bisikku tepat di telinga Satria.

“Iya Ran, aku janji, aku akan tetep jadi Satria yang kamu kenal. Aku 

juga sayang kamu, Ran.” sahutnya. Ku lepaskan dekapannya, terlihat dia

tersenyum manis, walaupun jelas terlihat binar kesedihan di matanya.

Pandanganku beralih pada Doni. Ku hempaskan tubuhku pada tubuh

kekar Doni. Dengan hangat, dia menyambut pelukanku.

“Doni, orang yang paling aku kagumi, makasih selama ini udah care sama

aku, udah tulus sayang sama aku. Kamu adalah orang paling lembut yang

pernah aku kenal. Aku mau kamu tetep jadi Doni yang aku kenal. Doni

yang lembut, bijak, dan dewasa. Doni, aku sayang kamu.” lirihku di

dekapan Doni.

“Iya Ran, aku janji buat jadi apa yang kamu mau. Aku juga sayang kamu, 

Rani ariyani.” jawab Doni, lalu mungkin tanpa sadar, dia mengecup

puncak kepalaku.

Sesegera mungkin ku lepas dekapan itu. “Oke Sat, Don, aku harus

berangkat sekarang. Jaga diri kalian baik-baik.” pamitku. Terlihat mereka

hanya menganggukkan kepala dengan senyum tipis di bibir mereka.

Mereka menungguku sampai pesewat yang aku tumpangi terbang.

“Kakak salut sama kamu Dek. Semoga ini emang yang terbaik buat kita.”

ujar Kak  Puput ketika pesawat yang kita tumpangi mulai terbang.

“Iya Kak, Rani juga berharap ini yang terbaik, buat Doni, Satria, dan

kita..” Aku menyandarkan kepala di dada Kak Puput. Kak Puput

merangkulku hangat. Ya, ini memang jalan terbaik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Analisis 7P "Onde Onde Lumer"

Kasus Pelanggaran Etika Bisnis PT Freeport Indonesia

Strategi promosi yang dilakukan oleh PT. Danone untuk produk Aqua