Tugas IBD 3 Cerpen "KETIKA CINTA HARUS MEMILIH"
KETIKA CINTA HARUS MEMILIH
Ran aku sayang kamu, kata itu yang masih terngiang di benaku. Bukan
hanya satu orang yang mengatakan kata indah itu tapi dua pemuda yang
mengatakannya. Dengan mata yang berbinar dan penuh dengan
ketulusan. Aku benar-benar bingung. Aku tak bisa memilih di antara
keduanya. Satria, dia selalu ada untuk aku semenjak aku duduk
dibangku SMA sampai sekarang. Sedangkan doni, seseorang yang
memang ku kagumi sejak mengenalnya di universitasku. Dia sangat
sempurna. Bingung, bingung, dan bingung. Itulah yang kin aku rasakan.
Dua minggu sudah kejadian itu berlalu, namun aku belum juga memberi
kepastian pada mereka. Di satu sisi aku memang sangat mengagumi dan
menyayangi Doni, atau bahkan aku telah benar-benar mencintainya. Tapi
di sisi lain, aku tak mampu menyakiti seorang Satria, sahabat yang selalu
ada untukku selama ini dan selalu ada di sampingku. Dialah yang
mungkin sangat mengerti seperti apa diriku ini yang sebenarnya. Dan
tanpa ku sadari, ada perasaan lain di hatiku saat menatap kedua bola
matanya. Oh Tuhan.. bagaimana ini, aku mencintai dua orang yang
mencintaiku, siapa yang harus ku pilih.
“Hay… ngelamun aja..” Seorang perempuan mengejutkanku dengan suara
Aku terdiam sejenak. “Iiih, Kakak apaan sih, ngagetin aja. Kalau tiba-tiba
Rani kena serangan jantung gimana?!” ucapku kesal pada perempuan itu
yang notabane-nya adalah Kakak keduaku, Putri Yunia .
“Sorry deh, abis Kakak perhatiin dari tadi kamu ngelamun mulu,
ngelamunin apa sih ade Kakak ini?” sahut Kak Puput.
“Jangen cemberut ihh, hilang loh cantiknya.” godanya sambil menoel
daguku. Aku hanya mendengus kesal. Kak Puput menatapku penuh
keteduhan.
“Ya udah, Kakak minta maaf. Sekarang, kamu cerita dong sama Kakak
kalau kamu punya masalah.” ucap Kak Puput lembut. Ku tatap mata
Kakakku dalam-dalam. Aku menghela napas berat.
“Rani bingung Kak.” ucapku lirih dan tertunduk.
“Bingung? Bingung kenapa?” tanya Kak Puput sembari mengusap
Ku tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Rani
harus gimana Kak, kalau ada dua cowok yang nembak Rani?” tanyaku.
Kak Puput tersenyum simpul. “Ya… tinggal pilih yang kamu suka,
gampang kan.” jawabnya.
“Itu dia masalahnya Kak, Rani nggak bisa. Rani suka dua-duanya. Rani
cinta sama mereka..” Aku mengalihkan pandanganku.
Kak Puput mengerutkan keningnya. “Emang mereka berdua siapa?”
“Satria dan Doni.” jawabku singkat.
“Satria sahabat kamu itu dan.. Doni? Doni itu anak mahasiswa semester 3
itu kan yang tinggi,ganteng&pinter itu. Wah kamu hebat ya bisa di taksir
sama Doni sahut ka puput.
Ah kakak bisa aja si, itu dia yang aku bingung untuk menjawabnya
“Wow, hebat deh Dek kalau kamu jadi pacarnya.” Kak Puput
berpendapat.
“Iya sih Kak… tapi Satria? Satria itu kan sahabat Rani. Dia yang selalu
ada dan jagain Rani selain Kakak. Rani nggak tega kalau harus nyakitin
dia.” ucapku.
“Iya juga yah..” seru Kak Puput setuju.
“Gimana dong Kak?” tanyaku meminta solusi. Kak Puput terlihat berpikir
sejenak. Dia menghembuskan napas perlahan.
“Hmm… ikuti kata hati kecil , sayang.” jawab Kak Puput yang nampaknya
ikut bingung.
Lagi-lagi aku menghela napas.
“I’m very confused, brother… apa Rani ngga usah milih dua-duanya?”
tanyaku lagi.
“kalau menurut kamu itu yang terbaik, ya megapa tidak, kalau mereka
bener-bener cinta sama kamu, Kakak yakin mereka bakal ngerti.” jawab
Kak Puput lalu mengelus rambutku.
“Mmm, oiya Dek, Kakak udah selesai ngurusin beasiswa Kakak ke
Singapura, dan 3 hari lagi Kakak berangkat. Deg. Jantugku tiba-tiba
berdebar kencang. Ku lepas sandaranku dari bahu Kak Puput. Ku tatap
mata Kakakku tajam.
“Secepet ini Kak? Kenapa Kakak baru bilang ke Rani kalau Kakak
berangkat minggu-minggu ini?” Mataku mulai berkaca-kaca. Dengan
siapa aku menjalani hidupku di sini tanpa Kak Puput?
“Maaafin Kakak Dek, tapi ini udah kewajiban Kakak. Kakak nggak mau
sia-siain beasiswa yang udah Kakak dapet ini.” sahut Kak Puput.
“Tapi Rani nggak mau sendiri Kak. Rani butuh kamu ka… siapa yang mau
jagain Rani kalau Kakak nggak ada… siapa yang mau jadi tempat curhat
Rani nanti…” ujarku.
Tak terasa bulir-bulir bening mulai menetes dari pelupuk mataku.
“Loh, kok jadi nangis sih… kamu nggak akan sendiri di sini, masih ada
saudara-saudara kita, dan sahabat-sahabat kamu.”
“Tapi Rani butuh Kakak”.
“Kita masih bisa komunikasi Dek.. jangan kayak anak kecil ah, kamu kan
udah dewasa apa lagi sekarang udah jadi mahasiswa.” sahut Kak Puput.
“Tapi Kak, apa Kakak nggak mikirin perasaan Rani? Rani bakal kesepian
Kak. Selama ini Rani butuh kasih sayang dari semua keluarga Rani. Tapi
apa Kak? Mama Papa lebih mentingin bisnis mereka.
“Oke, kalau kamu bener-bener nggak mau Kakak tinggal. Kamu ikut
Kakak. Biar nanti Kakak bilang sama Mama Papa, dan urusan kuliah kamu
nyusul aja. Gimana? Agree?” Kak Puput memberi solusi. Aku berpikir
sejenak. Ke Singapura? Apa Satria dan Doni tak akan menganggapku
sebagai pengecut jika aku pergi?
“Gimana Dek? Are you agree with me?” tanya Kak Puput lagi.
“Yaahhh.. i’m agree.” ucapku lirih, masih dalam dekapan Kak Puput.
Hari telah berganti aku pun berangkat kuliah dan sekalian untuk
berpamitan untuk pindah kuliah ke singapura. Temen-temen aku merasa
terkejut dan kaget ketika aku mengatakan mau pindah ke singapura.
“Apa?! Ke Singapura? Lusa? Gue nggak salah denger Ran? Tapi kenapa?”
pertanyaan bertubi-tubi itu terlontar dari mulutnya.
“gua nggak salah denger Ran, keputusan gue ini udah bulet. Gue nggak
bisa hidup di sini tanpa Kakak gue.” jawabku serius. Sejenak Intan,
sahabatku sejak SMA itu terbengong-bengong.
“Tapi kan masih ada gue, temen-temen kita yang lain, dan sodara-sodara
lo Ran. Lo juga bisa kan contact sama Kak Puput tiap hari.” ujarnya.
“Iya Ran, gue tahu, tapi kalau nggak ada Kak Puput di deket gue, tetep
aja beda rasanya. lo nggak tahu kan rasanya hidup tanpa keluarga di
deket kita, rasanya nggak enak Tan, dan bagi gue, udah cukup orangtua
gue aja yang jauh dari gue, jangan Kak Puput.” jelasku panjang lebar.
“Tapi lo janji kan bakal sering contact gue?” tanya Intan menolehkan
pandangannya ke arahku.
Aku pun menoleh. “Iya, gue janji.” Ku tunjukkan jari kelingkingku. Kiran
pun mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku.
“Oh iya terus gimana Satria dan Doni?” tanya Intan seraya melepaskan
Aku menarik napas panjang. Ku alihkan pandanganku ke depan kembali.
“Gue nggak akan milih siapa-siapa Tan, terlalu sulit.” ucapku dengann
tatapan kosong.
“lo udah ngomong sama mereka?” Kiran masih saja menatapku.
“Belum, rencananya besok gue ngomong ke mereka.” jawabku lesu. Kiran
hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Mmm, daripada ngegalau kayak gini, mending ke mall yuk… jalan-jalan,
yaa, kan bentar lagi kita nggak bisa hang out bareng.” ucapnya
kemudian. Aku menoleh ke arahnya, ku kembangkan seutas senyum.
“Ayo lah.” jawabku sambil menarik tangan Intan.
(Setiba di rumah)
“Huaahhh.. capenya..” Aku merebahkan tubuhku di spring bad. Lelah
sekali rasanya seharian mengelilingi mall bersama Intan. Mataku menatap
langit langit kamarku. Ku bangkitkan lagi tubuhku, ku edarkan pandangan
ke seluruh sudut kamarku.
“Gue pasti kangen banget sama kamar ini nanti.” gumamku.
Aku mengambil ponselku yang berada di atas meja, aku menulis sms
untuk Satria dan Doni. Aku mengajak mereka untuk bertemu aku besok
sore di cafe Cipete .
Tak lama kemudian mereka berdua menjawab sms aku dan ahirnya
mereka berdua bisa untuk aku ajak bertemu. Pagi itu sudah menunjukan
pukul 08.00. Aku dan Kak Puput berkemas untuk menyiapakan
Kebutuhan yang harus dibawa ke Singapura. Tak terasa hari sudah
menunjukan siang. “Kak aku udahan dulu ya beres-beresnya soalnya mau
bertemu dengan Satria dan Doni”. Oke good luck yah, jawab Kak Puput.
Ahrinya aku bersiap dan bergegas pergi ke cafe Cipete. Aku pergi dengan
mengunakan Taxi 20 menit di perjalanan ahirnya samapi juga di Cafe itu.
Setelah menunggu 15menit ahirnya Doni pun datang, Doni terlihat
ganteng dengan memakai pakaian kemeja berwarna biru.
“Don, aku di sini.” ucapku melambaikan tangan pada pemuda itu. Dia
Doni. Doni segera menoleh ke arahku, diiringi senyuman, dia melangkah
menghampiriku.
“Hai, udah lama?” tanyanya setelah bertatap muka denganku.
“Belum kok, duduk gih Don.” jawabku. Dia pun duduk di kursi sebelah
kananku. Suasana hening sejenak. Doni menatapku teduh. Mataku
beradu dengan matanya sejenak, kamudian ku tundukkan kepalaku.
“Ah, please Don, jangan natap gue kayak gitu.” batinku.
“Ran, kenapa?” tanya Doni yang mungkin heran melihatku yang tiba tiba
saja menunduk. Aku terkesiap.
“Engg… nggak kok Don, nggak apa-apa.” jawabku gugup.
“Hmm… oh iya, katanya ada yang mau diomongin?” tanyanya lagi.
“Emm, bentar yah donf, kita nunggu satu orang lagi.” jawabku. Doni
mengernyitkan keningnya.
“Kita.. bertiga?” Dia kelihatan bingung. Aku hanya menganggukan
Tiga menit berlalu. “Hay Ran sorry gue..” seorang pemuda yang
menghampiriku menghentikan ucapannya ketika mendapati aku bersama
“Mmm, nggak apa-apa Sat, duduk gih.” tanggapku. Ya, dia Satria. Satria
pun duduk di kursi sebelah kiriku sembari melepas jaketnya yang sedikit
basah. Dia berpandangan sekilas dengan Doni, lalu mengalihkan
pandangannya ke arahku.
“Mmm, Ran, bisa lo jelasin?” tanyanya.
“Kalian nggak pesen minum dulu?” aku berbasa-basi.
“Nggak usah Ran, ntar aja.” jawab keduanya bersamaan. Mereka kembali
berpandangan sejenak.
Ku hela napas perlahan. Suasana hening sejenak. Dua pasang mata itu
masih lekat menatapku yang tertunduk. Ku dongakkan kepalaku.
“Jadi gini Don, Sat… hari ini aku mau kasih jawaban sama kalian. Kenapa
bareng? yaa.. karena kalian kasih pertanyaan yang sama di hari yang
sama juga.” ku hentikan ucapanku sebentar. Mataku menatap Doni dan
Satria bergantian.
“Jujur, aku nggak bisa nyakitin kalian, tapi.. kalian bener-bener bikin aku
bingung. Aku… aku.. aku… aku cinta sama kalian berdua, aku sayang, dan
itu buat aku nggak bisa nentuin siapa yang harus aku pilih. Jadi… maaf,
aku nggak bisa sama salah satu dari kalian berdua. Lebih baik… kita jadi
sahabat aja. Tuhan yang bakal nentuin jodoh kita nanti.” jelasku panjang
Kini semua beban hati sudah tak terasa lagi. Ku lihat dua pemuda tampan
itu tercenung. Namun sejurus kemudian, terlihat sebersit senyum dari
bibir tipis Doni.
“Nggak apa-apa Ran, aku ikhlas kok, mungkin ini emang yang terbaik
buat kita bertiga.” ucapnya membuatku lega.
“Iya Ran, gue juga rela kok. Bener kata Doni, ini emang yang terbaik.”
sambung Satria diiringi senyum. Lega. Aku sudah mengira mereka akan
mengerti keputusanku.
“Makasih ya, kalian udah mau ngertiin aku. Maaf juga udah bikin kalian
nunggu..” Ku genggam tangan keduanya. Tangan kananku
menggenggam tangan kiri Doni, dan tangan kiriku menggenggam tangan
“Iya Ran, sama-sama. Kita nggak apa-apa kok, asal lo bahagia… ya kan
Don?” Bisma mengalihkan pandangannya pada Doni, meminta
persetujuan.
“Iya Sat, bener. Kita bahagia, asal kamu bahagia Ran, dan kalau
keputusan ini adalah jalan buat kebahagiaan kamu, kita terima kok.” Doni
tersenyum manis. Ah, aku tak menyangka mereka setulus itu. Ku
kembangkan senyum di bibirku, dan perlahan, ku lepaskan genggaman
Suasana hening sejenak. Ah!! hampir saja aku lupa. Aku harus
berpamitan pada mereka.
“Mmm… Don, Sat, selain itu, aku juga mau pamit sama kalian berdua.
“Pamit?” tanya mereka bersamaan untuk kedua kalinya. Aku menatap
mereka bergantian.
“Ya, besok, aku mau ikut Kak Puput ke Singapura, dan kita menetap di
sana sampai kuliahku selesai.” jelasku.
Mereka tertegun sejenak. Tampak jelas kekagetan di raut wajah mereka.
“Ke Singapur? Besok? Kok mendadak.” tanya Doni.
“Yaa, besok. Jadwal Kak Puput nggak bisa diundur lagi..”
“Tapi kenapa Ran? Kenapa harus ikut? lo masih punya kita di sini, masih
ada sodara-sodara lo juga, toh kalau Kak Puput di Singapura, itu bukan
berarti lo kehilangan dia kan.” Satria angkat bicara.
“Iya Sat, Tapi aku nggak mau ditinggal Kak Puput, cukup orangtua aku
aja yang ninggalin aku. Nggak boleh Kak Puput. Cuma dia yang bisa
ngertiin aku sepenuhnya.
“Hmm, kalau kalian sempet, besok aku tunggu di bandara. Aku berangkat
jam 9. Sekarang aku harus pulang, banyak yang belum disiapin buat
besok.” Aku bangkit dari tempat dudukku. Ku pandangi mereka yang
masih tertunduk.
“Aku sayang kalian.” ucapku kemudian meninggalkan mereka yang masih
(Keesokan Harinya)
“Ran, kamu beneran mau pergi?” Mata Intan pun berkaca-kaca.
“Iya Ran, aku pasti sering calling lo kok..” Ku genggam tangannya erat.
“Aku pasti bakal kangen banget sama kamu Ran..” Kini bulir-bulir bening
mengalir deras di pipinya. Dia memelukku erat. Ku balas pelukannya
dengan hangat.
“Aku juga tan, udah donk jangan nangis lagi.”
“Hmm, Dek, udah ada pemberitahuan pesawat kita tuh.” ucap Kak Puput
yang sedari tadi hanya memandangi aku dan Intan. Ya, kini aku berada di
Bandara. Aku pun melepaskan pelukanku dari Intan. Jaga diri kamu baik-
baik ya tan aku pasti bakal balik ko buat kamu. “iya Ran aku percaya itu”
.jawab Intan
oh iya, Aku rasa Doni sama Satria nggak dateng deh, salam buat mereka
yah..” Intan hanya mengangguk pelan. Ku lengkungkan bibirku
membentuk seutas senyum dan segera berbalik dan melangkah menuju
pesawat bersama Kak Puput.
“Ran! Tunggu..” Ku dengar seruan dua suara yang tak asing lagi di
telingaku. Ku hentikan langkahku. Ku balikkan badanku segera. Kak
Puput mengikutiku. Benar saja dugaanku, mereka datang. Doni dan
Satria. Bersamaan. Mereka berlari mengejarku.
“Doni.. Satria…” ucapku setelah berhadapan dengan mereka berdua.
“Ran, apa nggak ada jalan lain selain ini?” tanya Doni serius, dengan
napas yang sedikit tersengal.
“Iya Ran, kita pengen lo tetep di sini.” tambah Satria.
Ku sunggingkan senyum di bibirku dan menggeleng pelan. “Keputusanku
udah bulet Don, Sat… mmm, aku janji bakal sering calling kalian kok. Dan
suatu saat, aku pasti balik kok..”
“Tapi Ran…” ucap mereka berbarengan.
“Sepuluh menit lagi Dek.” Kak Puput mengingatkan.
“Iya Kak.” sahutku singkat. Ku pandang mata indah Doni dan Satria
bergantian. Ku peluk tubuh kurus Satria. Dia membalas pelukanku
dengan erat.
“Sat kamu temen aku, makasih selama ini kamu selalu ada buat aku,
nemenin aku , dan jaga aku. kamu adalah orang yang paling ceria yang
aku kenal. Dan aku mau, kamu tetep kayak gitu. Aku nggak mau lihat
seorang Satria sedih, apalagi karena aku . aku sayang kamu , Sat.”
bisikku tepat di telinga Satria.
“Iya Ran, aku janji, aku akan tetep jadi Satria yang kamu kenal. Aku
juga sayang kamu, Ran.” sahutnya. Ku lepaskan dekapannya, terlihat dia
tersenyum manis, walaupun jelas terlihat binar kesedihan di matanya.
Pandanganku beralih pada Doni. Ku hempaskan tubuhku pada tubuh
kekar Doni. Dengan hangat, dia menyambut pelukanku.
“Doni, orang yang paling aku kagumi, makasih selama ini udah care sama
aku, udah tulus sayang sama aku. Kamu adalah orang paling lembut yang
pernah aku kenal. Aku mau kamu tetep jadi Doni yang aku kenal. Doni
yang lembut, bijak, dan dewasa. Doni, aku sayang kamu.” lirihku di
dekapan Doni.
“Iya Ran, aku janji buat jadi apa yang kamu mau. Aku juga sayang kamu,
Rani ariyani.” jawab Doni, lalu mungkin tanpa sadar, dia mengecup
puncak kepalaku.
Sesegera mungkin ku lepas dekapan itu. “Oke Sat, Don, aku harus
berangkat sekarang. Jaga diri kalian baik-baik.” pamitku. Terlihat mereka
hanya menganggukkan kepala dengan senyum tipis di bibir mereka.
Mereka menungguku sampai pesewat yang aku tumpangi terbang.
“Kakak salut sama kamu Dek. Semoga ini emang yang terbaik buat kita.”
ujar Kak Puput ketika pesawat yang kita tumpangi mulai terbang.
“Iya Kak, Rani juga berharap ini yang terbaik, buat Doni, Satria, dan
kita..” Aku menyandarkan kepala di dada Kak Puput. Kak Puput
merangkulku hangat. Ya, ini memang jalan terbaik.
Ran aku sayang kamu, kata itu yang masih terngiang di benaku. Bukan
hanya satu orang yang mengatakan kata indah itu tapi dua pemuda yang
mengatakannya. Dengan mata yang berbinar dan penuh dengan
ketulusan. Aku benar-benar bingung. Aku tak bisa memilih di antara
keduanya. Satria, dia selalu ada untuk aku semenjak aku duduk
dibangku SMA sampai sekarang. Sedangkan doni, seseorang yang
memang ku kagumi sejak mengenalnya di universitasku. Dia sangat
sempurna. Bingung, bingung, dan bingung. Itulah yang kin aku rasakan.
Dua minggu sudah kejadian itu berlalu, namun aku belum juga memberi
kepastian pada mereka. Di satu sisi aku memang sangat mengagumi dan
menyayangi Doni, atau bahkan aku telah benar-benar mencintainya. Tapi
di sisi lain, aku tak mampu menyakiti seorang Satria, sahabat yang selalu
ada untukku selama ini dan selalu ada di sampingku. Dialah yang
mungkin sangat mengerti seperti apa diriku ini yang sebenarnya. Dan
tanpa ku sadari, ada perasaan lain di hatiku saat menatap kedua bola
matanya. Oh Tuhan.. bagaimana ini, aku mencintai dua orang yang
mencintaiku, siapa yang harus ku pilih.
“Hay… ngelamun aja..” Seorang perempuan mengejutkanku dengan suara
Aku terdiam sejenak. “Iiih, Kakak apaan sih, ngagetin aja. Kalau tiba-tiba
Rani kena serangan jantung gimana?!” ucapku kesal pada perempuan itu
yang notabane-nya adalah Kakak keduaku, Putri Yunia .
“Sorry deh, abis Kakak perhatiin dari tadi kamu ngelamun mulu,
ngelamunin apa sih ade Kakak ini?” sahut Kak Puput.
“Jangen cemberut ihh, hilang loh cantiknya.” godanya sambil menoel
daguku. Aku hanya mendengus kesal. Kak Puput menatapku penuh
keteduhan.
“Ya udah, Kakak minta maaf. Sekarang, kamu cerita dong sama Kakak
kalau kamu punya masalah.” ucap Kak Puput lembut. Ku tatap mata
Kakakku dalam-dalam. Aku menghela napas berat.
“Rani bingung Kak.” ucapku lirih dan tertunduk.
“Bingung? Bingung kenapa?” tanya Kak Puput sembari mengusap
Ku tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Rani
harus gimana Kak, kalau ada dua cowok yang nembak Rani?” tanyaku.
Kak Puput tersenyum simpul. “Ya… tinggal pilih yang kamu suka,
gampang kan.” jawabnya.
“Itu dia masalahnya Kak, Rani nggak bisa. Rani suka dua-duanya. Rani
cinta sama mereka..” Aku mengalihkan pandanganku.
Kak Puput mengerutkan keningnya. “Emang mereka berdua siapa?”
“Satria dan Doni.” jawabku singkat.
“Satria sahabat kamu itu dan.. Doni? Doni itu anak mahasiswa semester 3
itu kan yang tinggi,ganteng&pinter itu. Wah kamu hebat ya bisa di taksir
sama Doni sahut ka puput.
Ah kakak bisa aja si, itu dia yang aku bingung untuk menjawabnya
“Wow, hebat deh Dek kalau kamu jadi pacarnya.” Kak Puput
berpendapat.
“Iya sih Kak… tapi Satria? Satria itu kan sahabat Rani. Dia yang selalu
ada dan jagain Rani selain Kakak. Rani nggak tega kalau harus nyakitin
dia.” ucapku.
“Iya juga yah..” seru Kak Puput setuju.
“Gimana dong Kak?” tanyaku meminta solusi. Kak Puput terlihat berpikir
sejenak. Dia menghembuskan napas perlahan.
“Hmm… ikuti kata hati kecil , sayang.” jawab Kak Puput yang nampaknya
ikut bingung.
Lagi-lagi aku menghela napas.
“I’m very confused, brother… apa Rani ngga usah milih dua-duanya?”
tanyaku lagi.
“kalau menurut kamu itu yang terbaik, ya megapa tidak, kalau mereka
bener-bener cinta sama kamu, Kakak yakin mereka bakal ngerti.” jawab
Kak Puput lalu mengelus rambutku.
“Mmm, oiya Dek, Kakak udah selesai ngurusin beasiswa Kakak ke
Singapura, dan 3 hari lagi Kakak berangkat. Deg. Jantugku tiba-tiba
berdebar kencang. Ku lepas sandaranku dari bahu Kak Puput. Ku tatap
mata Kakakku tajam.
“Secepet ini Kak? Kenapa Kakak baru bilang ke Rani kalau Kakak
berangkat minggu-minggu ini?” Mataku mulai berkaca-kaca. Dengan
siapa aku menjalani hidupku di sini tanpa Kak Puput?
“Maaafin Kakak Dek, tapi ini udah kewajiban Kakak. Kakak nggak mau
sia-siain beasiswa yang udah Kakak dapet ini.” sahut Kak Puput.
“Tapi Rani nggak mau sendiri Kak. Rani butuh kamu ka… siapa yang mau
jagain Rani kalau Kakak nggak ada… siapa yang mau jadi tempat curhat
Rani nanti…” ujarku.
Tak terasa bulir-bulir bening mulai menetes dari pelupuk mataku.
“Loh, kok jadi nangis sih… kamu nggak akan sendiri di sini, masih ada
saudara-saudara kita, dan sahabat-sahabat kamu.”
“Tapi Rani butuh Kakak”.
“Kita masih bisa komunikasi Dek.. jangan kayak anak kecil ah, kamu kan
udah dewasa apa lagi sekarang udah jadi mahasiswa.” sahut Kak Puput.
“Tapi Kak, apa Kakak nggak mikirin perasaan Rani? Rani bakal kesepian
Kak. Selama ini Rani butuh kasih sayang dari semua keluarga Rani. Tapi
apa Kak? Mama Papa lebih mentingin bisnis mereka.
“Oke, kalau kamu bener-bener nggak mau Kakak tinggal. Kamu ikut
Kakak. Biar nanti Kakak bilang sama Mama Papa, dan urusan kuliah kamu
nyusul aja. Gimana? Agree?” Kak Puput memberi solusi. Aku berpikir
sejenak. Ke Singapura? Apa Satria dan Doni tak akan menganggapku
sebagai pengecut jika aku pergi?
“Gimana Dek? Are you agree with me?” tanya Kak Puput lagi.
“Yaahhh.. i’m agree.” ucapku lirih, masih dalam dekapan Kak Puput.
Hari telah berganti aku pun berangkat kuliah dan sekalian untuk
berpamitan untuk pindah kuliah ke singapura. Temen-temen aku merasa
terkejut dan kaget ketika aku mengatakan mau pindah ke singapura.
“Apa?! Ke Singapura? Lusa? Gue nggak salah denger Ran? Tapi kenapa?”
pertanyaan bertubi-tubi itu terlontar dari mulutnya.
“gua nggak salah denger Ran, keputusan gue ini udah bulet. Gue nggak
bisa hidup di sini tanpa Kakak gue.” jawabku serius. Sejenak Intan,
sahabatku sejak SMA itu terbengong-bengong.
“Tapi kan masih ada gue, temen-temen kita yang lain, dan sodara-sodara
lo Ran. Lo juga bisa kan contact sama Kak Puput tiap hari.” ujarnya.
“Iya Ran, gue tahu, tapi kalau nggak ada Kak Puput di deket gue, tetep
aja beda rasanya. lo nggak tahu kan rasanya hidup tanpa keluarga di
deket kita, rasanya nggak enak Tan, dan bagi gue, udah cukup orangtua
gue aja yang jauh dari gue, jangan Kak Puput.” jelasku panjang lebar.
“Tapi lo janji kan bakal sering contact gue?” tanya Intan menolehkan
pandangannya ke arahku.
Aku pun menoleh. “Iya, gue janji.” Ku tunjukkan jari kelingkingku. Kiran
pun mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku.
“Oh iya terus gimana Satria dan Doni?” tanya Intan seraya melepaskan
Aku menarik napas panjang. Ku alihkan pandanganku ke depan kembali.
“Gue nggak akan milih siapa-siapa Tan, terlalu sulit.” ucapku dengann
tatapan kosong.
“lo udah ngomong sama mereka?” Kiran masih saja menatapku.
“Belum, rencananya besok gue ngomong ke mereka.” jawabku lesu. Kiran
hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Mmm, daripada ngegalau kayak gini, mending ke mall yuk… jalan-jalan,
yaa, kan bentar lagi kita nggak bisa hang out bareng.” ucapnya
kemudian. Aku menoleh ke arahnya, ku kembangkan seutas senyum.
“Ayo lah.” jawabku sambil menarik tangan Intan.
(Setiba di rumah)
“Huaahhh.. capenya..” Aku merebahkan tubuhku di spring bad. Lelah
sekali rasanya seharian mengelilingi mall bersama Intan. Mataku menatap
langit langit kamarku. Ku bangkitkan lagi tubuhku, ku edarkan pandangan
ke seluruh sudut kamarku.
“Gue pasti kangen banget sama kamar ini nanti.” gumamku.
Aku mengambil ponselku yang berada di atas meja, aku menulis sms
untuk Satria dan Doni. Aku mengajak mereka untuk bertemu aku besok
sore di cafe Cipete .
Tak lama kemudian mereka berdua menjawab sms aku dan ahirnya
mereka berdua bisa untuk aku ajak bertemu. Pagi itu sudah menunjukan
pukul 08.00. Aku dan Kak Puput berkemas untuk menyiapakan
Kebutuhan yang harus dibawa ke Singapura. Tak terasa hari sudah
menunjukan siang. “Kak aku udahan dulu ya beres-beresnya soalnya mau
bertemu dengan Satria dan Doni”. Oke good luck yah, jawab Kak Puput.
Ahrinya aku bersiap dan bergegas pergi ke cafe Cipete. Aku pergi dengan
mengunakan Taxi 20 menit di perjalanan ahirnya samapi juga di Cafe itu.
Setelah menunggu 15menit ahirnya Doni pun datang, Doni terlihat
ganteng dengan memakai pakaian kemeja berwarna biru.
“Don, aku di sini.” ucapku melambaikan tangan pada pemuda itu. Dia
Doni. Doni segera menoleh ke arahku, diiringi senyuman, dia melangkah
menghampiriku.
“Hai, udah lama?” tanyanya setelah bertatap muka denganku.
“Belum kok, duduk gih Don.” jawabku. Dia pun duduk di kursi sebelah
kananku. Suasana hening sejenak. Doni menatapku teduh. Mataku
beradu dengan matanya sejenak, kamudian ku tundukkan kepalaku.
“Ah, please Don, jangan natap gue kayak gitu.” batinku.
“Ran, kenapa?” tanya Doni yang mungkin heran melihatku yang tiba tiba
saja menunduk. Aku terkesiap.
“Engg… nggak kok Don, nggak apa-apa.” jawabku gugup.
“Hmm… oh iya, katanya ada yang mau diomongin?” tanyanya lagi.
“Emm, bentar yah donf, kita nunggu satu orang lagi.” jawabku. Doni
mengernyitkan keningnya.
“Kita.. bertiga?” Dia kelihatan bingung. Aku hanya menganggukan
Tiga menit berlalu. “Hay Ran sorry gue..” seorang pemuda yang
menghampiriku menghentikan ucapannya ketika mendapati aku bersama
“Mmm, nggak apa-apa Sat, duduk gih.” tanggapku. Ya, dia Satria. Satria
pun duduk di kursi sebelah kiriku sembari melepas jaketnya yang sedikit
basah. Dia berpandangan sekilas dengan Doni, lalu mengalihkan
pandangannya ke arahku.
“Mmm, Ran, bisa lo jelasin?” tanyanya.
“Kalian nggak pesen minum dulu?” aku berbasa-basi.
“Nggak usah Ran, ntar aja.” jawab keduanya bersamaan. Mereka kembali
berpandangan sejenak.
Ku hela napas perlahan. Suasana hening sejenak. Dua pasang mata itu
masih lekat menatapku yang tertunduk. Ku dongakkan kepalaku.
“Jadi gini Don, Sat… hari ini aku mau kasih jawaban sama kalian. Kenapa
bareng? yaa.. karena kalian kasih pertanyaan yang sama di hari yang
sama juga.” ku hentikan ucapanku sebentar. Mataku menatap Doni dan
Satria bergantian.
“Jujur, aku nggak bisa nyakitin kalian, tapi.. kalian bener-bener bikin aku
bingung. Aku… aku.. aku… aku cinta sama kalian berdua, aku sayang, dan
itu buat aku nggak bisa nentuin siapa yang harus aku pilih. Jadi… maaf,
aku nggak bisa sama salah satu dari kalian berdua. Lebih baik… kita jadi
sahabat aja. Tuhan yang bakal nentuin jodoh kita nanti.” jelasku panjang
Kini semua beban hati sudah tak terasa lagi. Ku lihat dua pemuda tampan
itu tercenung. Namun sejurus kemudian, terlihat sebersit senyum dari
bibir tipis Doni.
“Nggak apa-apa Ran, aku ikhlas kok, mungkin ini emang yang terbaik
buat kita bertiga.” ucapnya membuatku lega.
“Iya Ran, gue juga rela kok. Bener kata Doni, ini emang yang terbaik.”
sambung Satria diiringi senyum. Lega. Aku sudah mengira mereka akan
mengerti keputusanku.
“Makasih ya, kalian udah mau ngertiin aku. Maaf juga udah bikin kalian
nunggu..” Ku genggam tangan keduanya. Tangan kananku
menggenggam tangan kiri Doni, dan tangan kiriku menggenggam tangan
“Iya Ran, sama-sama. Kita nggak apa-apa kok, asal lo bahagia… ya kan
Don?” Bisma mengalihkan pandangannya pada Doni, meminta
persetujuan.
“Iya Sat, bener. Kita bahagia, asal kamu bahagia Ran, dan kalau
keputusan ini adalah jalan buat kebahagiaan kamu, kita terima kok.” Doni
tersenyum manis. Ah, aku tak menyangka mereka setulus itu. Ku
kembangkan senyum di bibirku, dan perlahan, ku lepaskan genggaman
Suasana hening sejenak. Ah!! hampir saja aku lupa. Aku harus
berpamitan pada mereka.
“Mmm… Don, Sat, selain itu, aku juga mau pamit sama kalian berdua.
“Pamit?” tanya mereka bersamaan untuk kedua kalinya. Aku menatap
mereka bergantian.
“Ya, besok, aku mau ikut Kak Puput ke Singapura, dan kita menetap di
sana sampai kuliahku selesai.” jelasku.
Mereka tertegun sejenak. Tampak jelas kekagetan di raut wajah mereka.
“Ke Singapur? Besok? Kok mendadak.” tanya Doni.
“Yaa, besok. Jadwal Kak Puput nggak bisa diundur lagi..”
“Tapi kenapa Ran? Kenapa harus ikut? lo masih punya kita di sini, masih
ada sodara-sodara lo juga, toh kalau Kak Puput di Singapura, itu bukan
berarti lo kehilangan dia kan.” Satria angkat bicara.
“Iya Sat, Tapi aku nggak mau ditinggal Kak Puput, cukup orangtua aku
aja yang ninggalin aku. Nggak boleh Kak Puput. Cuma dia yang bisa
ngertiin aku sepenuhnya.
“Hmm, kalau kalian sempet, besok aku tunggu di bandara. Aku berangkat
jam 9. Sekarang aku harus pulang, banyak yang belum disiapin buat
besok.” Aku bangkit dari tempat dudukku. Ku pandangi mereka yang
masih tertunduk.
“Aku sayang kalian.” ucapku kemudian meninggalkan mereka yang masih
(Keesokan Harinya)
“Ran, kamu beneran mau pergi?” Mata Intan pun berkaca-kaca.
“Iya Ran, aku pasti sering calling lo kok..” Ku genggam tangannya erat.
“Aku pasti bakal kangen banget sama kamu Ran..” Kini bulir-bulir bening
mengalir deras di pipinya. Dia memelukku erat. Ku balas pelukannya
dengan hangat.
“Aku juga tan, udah donk jangan nangis lagi.”
“Hmm, Dek, udah ada pemberitahuan pesawat kita tuh.” ucap Kak Puput
yang sedari tadi hanya memandangi aku dan Intan. Ya, kini aku berada di
Bandara. Aku pun melepaskan pelukanku dari Intan. Jaga diri kamu baik-
baik ya tan aku pasti bakal balik ko buat kamu. “iya Ran aku percaya itu”
.jawab Intan
oh iya, Aku rasa Doni sama Satria nggak dateng deh, salam buat mereka
yah..” Intan hanya mengangguk pelan. Ku lengkungkan bibirku
membentuk seutas senyum dan segera berbalik dan melangkah menuju
pesawat bersama Kak Puput.
“Ran! Tunggu..” Ku dengar seruan dua suara yang tak asing lagi di
telingaku. Ku hentikan langkahku. Ku balikkan badanku segera. Kak
Puput mengikutiku. Benar saja dugaanku, mereka datang. Doni dan
Satria. Bersamaan. Mereka berlari mengejarku.
“Doni.. Satria…” ucapku setelah berhadapan dengan mereka berdua.
“Ran, apa nggak ada jalan lain selain ini?” tanya Doni serius, dengan
napas yang sedikit tersengal.
“Iya Ran, kita pengen lo tetep di sini.” tambah Satria.
Ku sunggingkan senyum di bibirku dan menggeleng pelan. “Keputusanku
udah bulet Don, Sat… mmm, aku janji bakal sering calling kalian kok. Dan
suatu saat, aku pasti balik kok..”
“Tapi Ran…” ucap mereka berbarengan.
“Sepuluh menit lagi Dek.” Kak Puput mengingatkan.
“Iya Kak.” sahutku singkat. Ku pandang mata indah Doni dan Satria
bergantian. Ku peluk tubuh kurus Satria. Dia membalas pelukanku
dengan erat.
“Sat kamu temen aku, makasih selama ini kamu selalu ada buat aku,
nemenin aku , dan jaga aku. kamu adalah orang yang paling ceria yang
aku kenal. Dan aku mau, kamu tetep kayak gitu. Aku nggak mau lihat
seorang Satria sedih, apalagi karena aku . aku sayang kamu , Sat.”
bisikku tepat di telinga Satria.
“Iya Ran, aku janji, aku akan tetep jadi Satria yang kamu kenal. Aku
juga sayang kamu, Ran.” sahutnya. Ku lepaskan dekapannya, terlihat dia
tersenyum manis, walaupun jelas terlihat binar kesedihan di matanya.
Pandanganku beralih pada Doni. Ku hempaskan tubuhku pada tubuh
kekar Doni. Dengan hangat, dia menyambut pelukanku.
“Doni, orang yang paling aku kagumi, makasih selama ini udah care sama
aku, udah tulus sayang sama aku. Kamu adalah orang paling lembut yang
pernah aku kenal. Aku mau kamu tetep jadi Doni yang aku kenal. Doni
yang lembut, bijak, dan dewasa. Doni, aku sayang kamu.” lirihku di
dekapan Doni.
“Iya Ran, aku janji buat jadi apa yang kamu mau. Aku juga sayang kamu,
Rani ariyani.” jawab Doni, lalu mungkin tanpa sadar, dia mengecup
puncak kepalaku.
Sesegera mungkin ku lepas dekapan itu. “Oke Sat, Don, aku harus
berangkat sekarang. Jaga diri kalian baik-baik.” pamitku. Terlihat mereka
hanya menganggukkan kepala dengan senyum tipis di bibir mereka.
Mereka menungguku sampai pesewat yang aku tumpangi terbang.
“Kakak salut sama kamu Dek. Semoga ini emang yang terbaik buat kita.”
ujar Kak Puput ketika pesawat yang kita tumpangi mulai terbang.
“Iya Kak, Rani juga berharap ini yang terbaik, buat Doni, Satria, dan
kita..” Aku menyandarkan kepala di dada Kak Puput. Kak Puput
merangkulku hangat. Ya, ini memang jalan terbaik.
Komentar
Posting Komentar